Selasa, 24 September 2013

Realita Perpustakaan Kita

Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (APISI) memprotes keras kebijakan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Kabupaten Purworejo dalam penyelesaian kasus pemukulan guru terhadap siswanya di SMPN 26 Purworejo beberapa waktu lalu. APISI menilai kebijakan Bambang dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dinilainya telah memperburuk citra perpustakaan sekolah. Dalam siaran persnya yang dimuat dalam website dengan domain http://apisi.org, APISI menyatakan, kasus yang terjadi di Purworejo itu merupakan yang kedua kalinya citra perpustakaan sekolah di Indonesia diperburuk. Pasalnya, penempatan guru bermasalah di perpustakaan itu mengesankan bahwa perpustakaan menjadi tempat pembuangan sekaligus sanksi bagi guru-guru yang bermasalah.[1]
realita perpustakaan kita
realita perpustakaan kita
      Mencoba menanggapi tulisan yang di posting Ibu Hanna (Ketua APISI sekaligus Pustakawan Senior Perpustakaan British Internasional School) memang miris, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang saya masih mendengar cerita dari teman-teman pengelola perpustakaan, bahwa petugas perpustakaan adalah orang-orang yang dibuang atau pegawai negeri yang masa pensiunnya hampir habis, ini masih terjadi di Jakarta. Oleh karena itu, jangan mengharapkan pengembangan perpustakaan apabila petugas perpustakaannya tidak mempunya kreatifas, program kerja yang jelas, dan pemahaman akan peran perpustakaan sebagai pusat informasi. Kuncinya, walaupun ini reduksionis (menyederhanakan) ada di tangan pengelola perpustakaan itu sendiri. Waduh.., saya jadi takut “keroyoki” pengelola perpustakan kalau bicara seperti ini.. Ha ha.. Paling tidak ini adalah kritik kedalam, apa iya saya seperti itu? Nah kalau tidak mau dikatakan seperti itu, pengelola perpustakaan harus mempunyai kemauan untuk memahami peran perpustakaan dan juga mewujudkan program kerja yang baik.
Hampir bisa dipastikan, bahwa pengelola perpustakaan mengelak apabila dijadikan biangkeladi dari buruknya perpustakaan sekolah, semuanya akan melimpahkan kesalahan kepada kebijakan pimpinan sekolah yang tidak fokus pada pengelolaan perpustakaan. Banyak kepala sekolah yang menganggap bahwa perpustakaan hanya sekedar sarana pelengkap, bukan sebagai pusat informasi dan sumber belajar. Banyak sekali keluhan datang dari pengelola perpustakaan sekolah bahwa Kepala Sekolah tidak memberikan dukungan yang maksimal akan keberadaan perpustakaan sekolah. Banyak sekali Kepala Sekolah yang hanya bicara mendukung kualitas perpustakaan sekolah tetapi tidak diwujudkan dengan kebijakan yang nyata untuk meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah.
Belum lagi, kondisi perpustakaan yang tidak nyaman untuk di kunjungi karena tata letak yang sumpek dan sempit, seakan-akan perpustakaan sekolah adalah tempat penyimpanan buku-buku paket dan buku paket itu lebih banyak yang sudah tidak sesuai kurikulum yang diajarkan. Tambah lagi, bicara anggaran yang idealnya minimal 5 % dari APBS, masih jauh dari semestinya, bahkan banyak sekolah yang sama sekali tidak menganggarkan untuk mengelola perpustakaannya. Miris… Sangat miris.. Ini masih terjadi di SMA dan bahkan di DKI Jakarta.
         Semua ulasan yang saya kemukankan bukan ungkapan yang “emosional” tetapi berdasarkan hasil kunjungan saya sebagai Ketua Wilayah Jakarta Selatan (MPPS/ Musyawaran Pengelola Perpustakaan Sekolah) SMA DKI Jakarta selama 4 bulan. Dari sekolah yang saya kunjungi, SMAN 46, 87, 63, masih jauh dari mutu perpustakaan sekolah yang ideal. Di ketiga sekolah itu, tata ruang perpustakaan nya masih tidak nyaman dan sumpek, tambah lagi, sistem informasi manajeman perputakaannya masih manual, padahal, sudah ada software sistem informasi manajemen perpustakaan berbasis web yang dapat diunduh (download) secara gratis (dengan nama SENAYAN). Masalah anggaran masih menjadi kendala, karena semua sekolah tidak consernterhadap anggaran perpustakaan, jangan lah berharap 5 % dari APBS yang di alokasikan untuk perpustakaan, adanya anggaran secara rutin yang diberikan untuk mengelola perpustakaan saja sudah menyenangkan. Yang paling lucu, ada pembenaran dari pengelola perpustakaan bahwa siswa-siswa sekarang minat bacanya sudah pudar, padahal pengelola perpustakaannya tidak mempunyai agenda untuk memperbaiki kualitas mengelola manajemen perpustakaan di sekolahnya. Saya kok masih yakin, kalau perpustakaan di kelola dengan baik, tata ruang yang nyaman, koleksi yang berkualitas, fasilitas lain yang mendukung tersedia, dengan sendirinya minat kunjung dan minat baca di perpustakaan semakin membaik.
         Tapi kita tidak perlu optimis dan menyalahkan siapa pun. Dalam kesempatan ini, di ruang ini, saya mengajak pengelola perpustakaan untuk melakukan aksi mendesak atau dalam bahasa halus mendorong kebijakan Kepala Sekolah untuk memprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan perpustakaan sekolah yang berkualitas. Seandainya pengelola perpustakaan sekolah ditantang untuk membuat program perpustakaan sekolah yang kreatif, mulai dari mana? Cobalah buat program kerja yang sederhana, misalnya, seperti yang saya lakukan di SMA Negeri 47 Jakarta. Pertama sekali saya mengusulkan untuk merubah tata ruang (lay out) perpustakaan sekolah yang nyaman, rak-rak buku dibuat dua sisi, tinggal merenovasi rak yang sudah ada menjadi dua sisi. Kedua, membah perabot perpustakaan, seperti beberapa komputer untuk siswa mengaksesi  internet.Ketiga, membuat ruang kerja, untuk pengolahan koleksi, dan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian buku),Keempat, menciptakan ruang baca santai dilengkapi dengan TV untuk siswa menonton film-film pembelajaran.Kelima, mengadakan Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan dengan mengatakan software perpustakaan. Sekarang ini, sudah ada software perpustakaan gratis yang bisa diunduh  (download) bernama SENAYAN, pengelola perpustakaan tinggal mempelajari bagaimana mengoperasikan software tersebut. Perpustakaan SMA Negeri 47 Jakarta memakai software LONTAR yang di pakai Perpustakaan UI, Perpustakaan UIN Pusat, Perpustakaan Insan Cendekia, hanya saja software ini memang mahal harganya. Dengan Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan ini maka pengelola perpustakaan akan mudah mengolah buku, katalog on line (OPAC), laporan-laporan, keanggotaan, dll. Jadi di zaman informasi ini, tidak ada lagi perpustakaan sekolah masih melalukan manajemen perpustakaannya secara manual (pencatatan manual), ini sangat membantu dalam mengoperasikan manajeman perpustakaan sekolah.
Semua pengelola perpustakaan pasti sepakat, bahwa urusan ini harus diakhiri atau paling tidak diselesaikan. Maka, bermunculan lah organisasi pengelola perpustakaan sekolah seperti APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (sebagai organisasi sosial), di bawah Perpustakaan Nasional berdiri Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia, kemudian, di bawah Kemendiknas, katanya, berdiri Asosiasi Tenaga Perpustakaan Indonesia (ATPUSI) dan hampir setahun lalu, di bawah Dinas Pendidikan DKI Jakarta, berdiri pula, Musyawarah Pengelola Perpustakaan Sekolah (MPPS). Harapannya adalah dengan adanya organisasi tersebut, pengelola perpustakaan tidak berjuang sendiri-sendiri untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaannya. Walaupun, kenyataannya, semua organisasi ini mengklaim bahwa organisasinya lah yang mengapresiasikan perjuangan pengelola perpustakaan sekolah, sehingga semua berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Nyanyian minor ini pun bukan untuk menambah masalah baru, tetapi, sebagai kritikan kepada pemerhati perpustakaan sekolah dengan slogan: PENGELOLA PERPUSKATAAN SEKOLAH.. BERSATULAH….
           Dalam mengimplementasikan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 pasal 23 tentang Perpustakaan yang menyebutkan bahwa : ”Setiap sekolah/ madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan”, maka komunikasi antar pengelola perpustakaan secara interns diperlukan, setiap pengelola boleh memakai kendaraan organisasi apapun yang ada. Hanya saja, harus diagendakan tentang adanya pertemuan besar dalam wujud lokakarya untuk mengagendakan peningkatan kualitas dan mutu perpustakaan sekolah yang berkesimbungan.
 

Sabtu, 13 Oktober 2012

Tawuran pelajar... hufff

       Nonton Jakarta Lawyer Club, satu jam yang lalu, seru juga. Sayangnya ketika nonton sudah beberapa menit acaranya berlangsung, jadi tidak sempat mendengar komentar Wamen Kemendikbud dan Kepala Dinas Pendidikan DKI. Oia, kalau anda tidak sempat menonton, saya informasikan bahwa temanya adalah tentang Tawuran Pelajar SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 Jakarta. Di dalam forum itu semua bicara - bicara semua, dari Sujiwo Tejo ampe Bang Yos, dari anggota DPR yang membidangi pendidikan sampe Engkong Ridwan Saidi, nah lucunya lagi si engkong ngusulin jalan bulungan diganti dengan nama  korban. Riuh... aneh..
        Saya sedikit menganalisa, walaupun spontan, dari kacamata saya sebagai karyawan di SMA, kemungkinan siswa yang berada di luar jam pelajaran sekolah itu tidak mengikuti pelajaran. Karena apa? Karena etos kerja sebagian guru berkurang disebabkan sistem pendidikan 12 tahun membuat guru tidak mendapatkan penghasilan. Karena orang tua murid tidak dibebankan lagi biaya pendidikan. Lantas, dimana didapatkan penghasilan guru, khususnya guru honor dan karyawan honor seperti kami? Sementara penghasilan kami didapatkan dari orang tua murid melalui bayaran sekolah. Jawabannya katanya nanti setelah Gubernur DKI Jakarta dilantik akan ada Bantuan Operasional Sekolah dari Dinas Pendidikan DKI per-siswa 400.000/ perbulan. Pastinya banyak orang yang tidak tahu bahwa kami (guru dan karyawan honor SMA) digaji perbulan Rp.45.000 perkali masuk setelah dipotong pajak. Jujur, saya saja mendapatkan honor untuk bulan September 712.000 dibayar bulan Oktober tanggal 4. Anda bisa bayangkan, kami bekerja menjalankan tugas sehari-hari, disiplin dan loyal. Ironi memang, loyalitas kami dibenturkan dengan kebijakan Pemda DKI yang tidak memikirkan orang-orang kecil. Loyalitas kami dihargai dengan Rp.45.000/ hari masuk. Mau melawan? Kami tidak punya kekuatan. Menyalahkan siapa? Kepala Sekolah? MKKS saja tidak berani melawan yang katanya instruksi.
           Ha ha... Anda pasti akan bilang. Logika berfikir macam apa yang dipakai saya? Ga jelas, ga nyambung dari tema yang saya tulis. Pembelaan saya, ini hanya spontanitas cara berfikir saya. Yang saya rasakan dan lihat memang setelah ditetapkannya kebijakan sistem pendidikan 12 tahun mulai tahun ajaran baru 2012-2013, loyalitas guru mengajar dan karyawan bekerja berkurang. Mungkin itu wujud protes yang spontan. Secara tidak langsung menciptakan jam pelajaran kosong. He he.. Kalo "pelajaran kosong" kira-kira pelajaran apa ya?? Hi hi.. Bagi siswa-siswa yang cerdas, pasti memanfaatkan perpustakaan sebagai ajang belajar yang efektif. Tapi, siswa yang lainnya bagaimana? Umumnya kongkow-kongkow di wilayah sekolah untuk berfikir.. kira-kira apa ya "update" status yang laku?? wkwkwk... Nah, yang lainnya "madol", cabut dari sekolah, nongkrong di luar sekolah. Walau ini pun juga bukan analisa yang tepat untuk menjawab tawuran tersebut.. ha ha ha.. Lantas apa?
           Ada berapa rumusan memang yang dibicarakan di forum Jakarta Lawyer Club, salah satunya adalah membuat kebijakan "tata tetib" sekolah yang ditandatangani oleh pihak siswa, diketahui orang tua, dan juga pihak sekolah. Rumusan ini pernah saya dengar ketika Direktur Pembinan SMA yang kantornya di Cipete, kalo tidak salah namanya Pa Totok memberi pengarahan kepada Kepala Sekolah yang mendapatkan dana Block Grand. Kebetulan, saya ketika sebagai utusan pihak sekolah untuk mendapatkan Block Grand dana pengembangan perpustakaan. Pa Totok membicarakan tema Sekolah Berstandar Internasional seharusnya juga ramah sosial agar tidak diplesetkan menjadi "Sekolah Bertarif Internasional". Waduh ngelantur kemana-mana nih. Dan point pentingnya adalah Pa Totok mengungkapkan ide yang sama tentang perlunya aturan yang ditandatangani oleh siswa dan pihak sekolah. Dan terbukti, salah satu dari peserta Lowyer Club, kalo ga salah alumni dari SMA 70 angkatan awal menganalisa ke STM Penerbangan yang dulunya bisa dibilang "tukang ribut" dengan adanya kebijakan aturan itu, tidak lagi ribut sampe sekarang. Perlu dicontoh...



















Sabtu, 04 Agustus 2012

Program Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta


Keluhan masyarakat Jakarta tentang pendidikan mahal tuntas sudah. Pemerintah DKI melalui Dinas Pendidikan DKI Jakarta resmi melaksanakan Program Wajib Belajar 12 tahun, seiring pada hari pertama pelaksanaan Tahun Ajaran 2012/2013. Pelaksanaan program Wajib Belajar 12 tahun di ibu kota berlangsung lancar sesuai rencana yang ditetapkan Gubernur DKI Jakarta., menurut Taufik Yudi Mulyanto, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, selanjutnya lihat: http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/07/17/98646/Program-Wajib-Belajar-12-Tahun-di-Jakarta/6.

                Informasi itu menjadi concern saya karena saya fokus di dunia pendidikan, khususnya sebagai pengelola Perpustakaan SMAN 47 Jakarta. Yang jelas sebagai orang tua, enam tahun kedepan pasti saya akan merasakan kebijakan yang manis  tersebut. Masalahnya, kebijakan itu menjadi pahit bagi kami (guru dan karyawan honorer) sekarang. Banyak orang tidak tahu bahwa gaji kami dalam beberapa bulan kedepan tidak mendapatkan kejelasan, bahkan THR pun kabarnya tidak akan kami peroleh. Uniknya lagi, pertemuan orang tua murid (komite sekolah) dengan pejabat sekolah yang mengagendakan tunggakkan yang belum terbayarkan di tahun ajaran sebelumnya baik itu SPP bulanan maupun uang masuk yang jumlahnya ratusan juta dinyatakan lunas oleh kepala sekolah kami karena kebijakan Program Pendidikan 12 Tahun. Lantas, dari mana kami mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ? Apakah perlu kami membuat terobosan dengan ide-ide “liar” melalui akun-akun jejaring sosial seperti facebook dan tweeter mendengungkan “ koin peduli guru dan karyawan honoren DKI"?

Dengan  adanya Program Wajib Belajar 12 Tahun, rencananya Pemda DKI melalui Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan mengeluarkan anggaran persiswa Rp. 400.000/ bulan per-siswa, anggaran keseluruhan untuk kartu gratis wajib belajar 12 tahun itu mencapai Rp 675 miliar, lihat: http://edukasi.kompas.com/read/2012/08/01/11115152/DKI.Luncurkan.Kartu.Gratis.Wajib.Belajar.12.Tahun. Agar tidak dianggap kebijakan ini berbau politis karena PILKADA DKI Jakarta, ada beberapa poin penting dan spontan yang sempat saya rumuskan:

Pertama, Logikanya begitu kebijakan itu berjalan, maka subsidi anggaran (BOP) yang akan diberikan berjalan beriringan. Artinya kalau Program Pendidikan 12 Tahun  berjalan pada awal tahun ajaran 2012/2013 yang tepatnya pertengahan bulan Juli, maka BOP harus turun di bulan Juli juga. Kenapa? Karena bagaimana memenuhi kebutuhan anggaran bulanan sedangkan sekolah tidak boleh memungut biaya dari orang tua murid (komite sekolah). Itulah yang dirasakan semua SMA di DKI Jakarta saat ini, sekolah sedang mengalami kebangkrutan anggaran sampai anggaran BOP jelas turunnya.

Kedua, Apakah BOP yang rincinya akan diberikan Rp.400.000/ bulan per-siswa dapat memenuhi semua anggaran sekolah? Seperti yang kita ketahui fasilitas sekolah-sekolah menengah di DKI Jakarta sangat mewah, sebagai contah, disetiap kelas saja telah dilengkapi AC. Berapa biaya listrik, Telepon, Internet, ATK, Biaya Rumah Tangga, kepegawaian, dll? 

Ketiga, Apakah setiap siswa memperoleh kebijakan yang sama? Ataukan hanya siswa-siswa yang tidak mampu saja yang mendapatkan Kartu Gratis Wajib Belajar 12 Tahun.

Keempat, Semua orang pasti sepakat bahwa keluhan biaya sekolah mahal hanya terlontar dari orang tua murid yang tidak mampu. Sedangkan bagi orang tua murid yang kaya, saya percaya bahwa meraka tidak keberatan apabila dikenakan biaya yang tidak memberatkan. Hasil dari biaya yang dikeluarkan dari orang tua murid yang kaya tadi dapat digunakan  untuk meningkatkan mutu pendidikan di SMA, salah satunya adalah Perpustakaan.Karena saya concern di Perpustakaan, hampir semua sekolah tidak menerapkan UU No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan yang menganggarkan 5 % dari RAPBS untuk Perpustakaan.
                Prinsipnya, kebijakan Wajib 12 Tahun yang dicanangkan Pemprof DKI melalui Dinas Pendidikan DKI Jakarta harus kita dukung seutuhnya. Hanya saja kebijakan itu harus dipikirkan secara matang tidak hanya memenuhi kepentingan sepihak saja (orang tua yang tidak mampu) dan apalagi hanya semata-mata untuk meningkatkan polularitas menjelang PILKADA Putaran ke-2, argumen yang kedua ini pasti akan terlontar dari mulut-mulut orang-orang yang sinis dan skeptis.
Nah, moga saja Gubernur dan  Dinas Pendidikan DKI Jakarta mendengar keluhan yang dirasakan guru dan karyawan honorer SMA, dan memberikan angin segar kepada kami (guru dan karyawan). Apakah keinginan mendapatkan kejelasan THR di tahun ini dan gaji sesuai UMR adalah sesuatu yang mewah? Kami tunggu jawaban itu dari Bapak Gubernur dan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Selasa, 17 Juli 2012

MENCOBA MENULIS TANPA BATAS


Kendala awal setiap kali ingin mengungkapkan gagasan dalam bahasa tulis adalah pada star awal, banyak orang yang berpendapat begitu, dan saya menyetujuinya, sangat setuju. Sementatra banyak sekali penulis, begitu meletakkan jemari tangannya di keyboard laptop, melesat apa yang ada di dalam gagasannya tertuang dalam tulisan, seperti mendapat ilham.  Sementara saya, bukanlah penulis yang baik. Memahami konsep menulis saja tidak, minder, merasa bahwa gagasan yang akan saya kemukakan sudah pernah ada yang mengungkapkannya lebih awal dengan pisau analisa yang tajam dan bernas. Pernah saya di tertawai karena tulisan saya tentang ”bendera,” ini membuat keberanian mengekspresikan gagasan dalam bentuk tulisan semakin pudar. Lemas. Saya akui memang tulisan itu adalah refleksi spontan dan boleh dikatakan sebuah curhat kacangan. Suatu hari, energi saya mulai naik kembali, ketika ada teman lama yang ingin melihat apa yang ada dalam ide saya dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk memenuhi keinginan ini, saya akan mencoba. Walau saya tahu, harapannya tidak akan bisa saya penuhi secara utuh. Tetapi, saya akan mencobanya maksimal.. Tidak lebih.
Banyak, orang bilang era sekarang adalah era informasi, artinya semua informasi mudah didapat, gagasan-gagasan seperti super megamall. Layaknya super megamall, setiap “pengunjung” disuguhkan produk-produk beraneka ragam, mereka secara subyektif membeli apa saja yang dibutuhkannya, dan hampir dipastikan bahwa setiap “pengunjung” mempunyai kebutuhan yang berbeda, walaupun ada beberapa hal kebutuhan yang sama. Seperti itulah analogi gagasan di era informasi. Kita tinggal masuk ke dalam search engine yang disediakan seperti google, yahoo, dan banyak lagi. Ketik kata apa saja dalam “mesin pencarian” maka kita akan disuguhkan berbagai gagsan sesuai kata kunci yang kita cari.  Apa lagi kalau kita sudah menemukan link yang kita butuhkan. Kita tinggal mengambil gagasan yang kita butuhkan pada link tersebut. Luar biasa, dunia begitu cepat melesat. Sementara pemahaman ini baru saya dapatkan dua tahun belakangan.
Kembali ke wacana menulis, ada seorang teman, ingin mempublikasikan cerpennya di salah satu surat kabar, tetapi karyanya ditolak, mungkin alasan yang mudah diterima karena tulisan itu tidak mempunyai nilai komersial.  Mungkin banyak sekali orang yang bernasib sama ketika dibenturkan dengan redaktur surat kabar. Itulah era  industri, semua produk dinilai dari apakah produk tersebut bernilai jual atau tidak. Lain halnya di era informasi, kita bisa membuka “warung” yang sewanya hanya ratusan ribu pertahun. Kita tinggal membuka alamat web yang kita inginkan, dan menyimpan data kita di hosting. Coba bayangkan, kalo kita berjualan di dunia real. Berapa juta rupiah uang yang harus kita keluarkan untuk menyewa tempat berdagang. Bahkan, di era informasi disediakan “warung-warung” gratisan untuk memperkenalkan “karya” dan produk kita. Tambah lagi, kelebihan yang didapat di era infromasi sekarang ini, kita sebagai penulis juga sebagai editor bahkan sebagai marketing pemasaran untuk mempublikasikan web atau blog yang kita punya. Awalnya saya heran, ada seorang penulis membukukan tulisannnya di blog menjadi buku yang hasilnya menjadi best seller, padahal tulisannya adalah catatan harian beliau, bahasa yang digunakan adalah bahasa lisan yang ditulis, sangat spontan, dia adalah Raditya Dika, dia telah menjadi seorang yang popular sekarang, luar biasa, terlepas dari bobot tulisannya yang spontan. Tentu, persoalan yang harus dihadapi oleh penulis di era informasi ini adalah mempertanggung jawabkan apa yang ditulisnya kepada pembaca. Sebagai hasil karya, penulis mempunyai pesan yang akan diungkapkan kepada pembaca. Karena tulisan bisa menjadi media ekspresi penulis yang berjarak ruang dan waktu kepada pembacanya. Bagitu tulisan telah dipublikasikan, maka ia menjadi milik publik, dan akan dinikmati oleh pembaca dengan latar belakang dan seting sosial yang berbeda. Sedikit yang saya tahu, maka penting untuk memahami seting sosial penulis untuk membaca tulisannya, kenapa? Karena hasil tulisan yang ditulis di penjara akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan tulisan yang ditulis di alam bebas dan demokratis. Itu sedikit yang saya pahami dari hermeneutika.
Waduh, melantur jauh sekali dari wacananya…, maklum terlalu spontan. Moga pembaca bisa menangkap apa pesannya. Mungkin dalam kesempatan curah gagasan lain saya akan focus pada satu wacana. Dan mungkin, perlahan, karena diasah pisau analisa saya, maka tulisan-tulisan saya berikutnya akan semakin tajam dan bermutu. Semoga, itu adalah harapan saya

Sabtu, 09 Juni 2012

PERPUSTAKAAN SMA NEGERI 47 JAKARTA OKTOBER 2011- MEI 2012


Perubahan paradigma pendidikan yang terjadi saat ini mengarah pada terciptanya proses transfering knowledge yang tidak hanya berasal dari para guru saja, tetapi siswa harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat mengakses berbagai sumber pengetahuan baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Dengan memberi kesempatan tersebut, berarti sekolah telah menjembatani siswa untuk menanamkan konsep belajar seumur hidup (long live education). Hal ini akan sangat membantu mereka untuk menguasai pengetahuan dengan baik, bahkan mengarahkan mereka pada suatu kemampuan (skill) tertentu sesuai minat dan bakat masing-masing.
Perubahan iklim sekolah seperti yang dicita-citakan tersebut hanya akan terwujud apabila sekolah memberikan dukungan penuh terhadap program penyediaan dan pengembangan berbagai sumber-sumber belajar yang sangat dibutuhkan baik oleh para siswa maupun para guru, yakni melalui perpustakaan sekolah. Salah satu hal paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap sekolah adalah tersedianya perpustakaan yang representatif yang dilengkapi dengan berbagai sumber belajar dengan jumlah dan variasi yang memadai, sesuai dengan kebutuhan guru dan para siswa.
Jika suatu sekolah berharap untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami pelajaran dengan perubahan sistem pengajaran dan pembelajaran yang saat ini berlaku, perpustakaan sekolah sesungguhnya mampu menjadi model yang dapat membimbing perubahan yang efektif. Melalui program-program yang dijalankannya secara rutin, perpustakaan sekolah akan mampu menjadi penggerak dalam membantu menjadikan proses belajar sebagai suatu hal yang menyenangkan bagi setiap siswa sehingga timbul keinginan mereka untuk terus bereksplorasi dan menggali ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan menjadi pengalaman belajar yang berarti dan pada gilirannya  akan dapat meningkatkan prestasi akademik para siswa.
Kesadaran akan pentingnya perpustakaan pada setiap sekolah dan ketrampilan penggunaan perpustakaan bagi setiap pemakai perpustakaan harus terintegrasi dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, semua program perpustakaan sekolah harus dipusatkan pada proses belajar-mengajar. Untuk itu dibutuhkan keberadaan perpustakaan sekolah yang baik, yang dilengkapi dengan berbagai macam sumber belajar baik tercetak maupun non cetak, dan dikelola oleh seorang petugas (pustakawan) yang terlatih.
Menurut guideline perpustakaan sekolah yang ditetapkan oleh International Federation of Library Associations (IFLA), ada beberapa  komponen yang penting dalam mewujudkan perpustakaan sekolah yang efektif, seperti: tersedianya sumber-sumber (bahan bacaan cetak maupun digital), terselenggaranya organisasi perpustakaan dengan baik, tersedianya tenaga perpustakaan yang terampil, terlaksananya penggunaan perpustakaan, terlaksananya promosi perpustakaan, tersedianya tempat yang cukup memadai untuk menempatkan segala macam format koleksi perpustakaan seperti buku, surat kabar, majalah, bahan audio visual, dan lain lain.
SMA Negeri 47 Jakarta sebagai salah satu sekolah unggulan propinsi  DKI Jakarta saat ini telah memiliki sebuah perpustakaan. Pada awalnya  kondisi perpustakaan SMA Negeri 47 Jakarta seperti gudang penyimpanan buku-buku paket dan lay out ruangan tidak menarik minat siswa untuk datang ke perpustakaan. Sebagai langkah awal maka pembenahan pertama dilakukan dengan merubah tata ruang (lay out) dan menambah perlengkapan dan perabot perpustakaan. Untuk memudahkan pelayanan maka dibuatkan perjanjian dengan Perpustakaan Universitas Indonesia dan Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia dalam pengadaan software sistem otomasi dan digitalisasi perpustakaan berbasis web yang diberinama LONTAR.
Pembenahan tahap ini menghasilkan perubahan yang signifikan. Perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Masyarakat sekolah, baik siswa maupun guru sangat antusias untuk berkunjung ke perpustakaan. Pembenahan demi pembenahan terus  dilanjutkan ke tahap yang lebih berkualitas. Penambahan kualitas isi bahan bacaan baik cetak, elektronik maupun audio/ video dilakukanl. Penggunaan LONTAR yang tadinya hanya bisa dipublikasikan di lingkungan sekolah saja, kini dapat diakses melalu, ID Doman: www.perpustakaan47.sch.id
Dengan adanya web perpustakaan SMAN 47 Jakarta, pengelola perpustakaan SMA Negeri 47 Jakarta memberi ruang bagi kami siswa dan guru untuk mengapresikan gagasannya berupa artikel, cerpen dan   apresiasi gambar. Melalui web perpustakaan, siswa dan guru dan pengungjung web bisa melihat katalog on line (OPAC) koleksi perpustakaan SMAN 47 Jakarta. Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa mengunduh (download) koleksi digital yang dimiliki perpustakaan SMAN 47 Jakarta dengan terlebih dahulu login anggota. Untuk melihat perkembangan perpustakaan SMAN 47 Jakarta saat ini, bisa dilihat dalam dokumentasi foto-foto yang ada di bawah ini.

Ruang kerja dan ruang sirkulasi. Apabila ada siswa yang berkunjung, petugas pelayanan menscan kartu anggota dengan barcode scanner. Begitu juga dengan pelayanan peminjaman dan pengembalian buku. Dengan adanya software LONTAR, semua sistem informasi manajemen perpustakaan berbasis otomasi dan digitalisasi
 Ruangbaca lesehan digabung dengan ruang menonton film. Di ruang ini siswa dapat 
 membaca dengan   santai dan disaat istirahat bisa menikmati koleksi film pembelajaran.

          Rak buku dua muka, awalnya rak buku ini satu muka (standar rak buku perpustakaan sekolah),   kami merenovasinya menjadi dua muka agar lebih efisian dan efektif

 tampak miring (rak koleksi buku)
                                                                               tampak depan (rak koleksi buku)


















Meja baca panjang (untuk diskusi kelompok)










                                                                      Meja baca panjang (untuk belajar dengan guru,dll)

 










Ruang multimedia (ada tv dan dvd player)












                                                                        Meja baca oshin (lesehan)











meja baca bersekat (standar meja baca perpustakaan sekolah)




 







                                                                                                                                         Komputer 6 buah untuk sarana akses internet












Komputer server IBM M 3 3600 / 2 terra

         Dan banyak lagi fasilitas lain yang tidak sempat di publikasikan karena terbatasnya ruang blog ini, singkatannya, selama 3 tahun ini perpustakaan SMA Negeri 47 Jakarta mengalami perkembangan peaisat. Sehingga, sekarang ini perpustakaan SMA Negeri 47 dapat di akses melalui internet dengan ID doman www.perpustakaan47.sch.id.
            Sekarang ini kami sedang meningkatkan konten (kualitas isi bahan koleksi) dan idealnya adalah sebuah bahan ajar yang dibutuhkan dalam proses belajar mengajar sedianya ada di perpustakaan. Dan koleksi kumpulan soal, baik soal UN, UTS, UAS, Ulangan Harian akan kami buat kan sorftcopynya untuk dapat di download untuk belajar siswa. Dan kami juga sedang memperbanyak koleksi buku elektronik, film pembelajaran untuk dapat dimanfaatkan. Semata-mata kami lakukan untuk menciptakan layanan prima...

Jumat, 11 Mei 2012

STUDI BANDING KE DICKENS LIBRARY BRITISH INTERNATIONAL SCHOOL BINTARO 13 OKTOBER 2011


A.      A.  PENDAHULUAN     
          
Membuat program kerja yang kreatif, salah satu contohnya  adalah berkunjung ke perpustakaan yang mempunyai kualitas pelayanan yang baik, membuat kita (pengelola) perpustakaan akan terbuka akan wawasan pengelolaan perpustakaan sekolah yang bermutu. Tetapi, yang lebi, penting lagi adalah mengaplikasikan semua pemahaman yang didapat dari hasil kunjugan tersebut ke dalam program kerja perpustakaan dimana tempat kita bekerja. Sebab, akan sia-sia saja semua hal yang didapat untuk pembenahan perpustakaan yang kita kelola kalau implementasinya tidak ada. Paling tidak, hanya dua yang didapat dari hasil kunjungan tersebut apabila tidak diaplikasikan secara nyata: (i) pemborosan anggaran yang di keluarkan, dan ke (ii) menjadi refresing (jalan-jalan) semata. Nah, lagi-lagi, biasanya kebijakan pimpinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpustkaan sekolah menjadi hal yang fundamental.
        Kali ini, 13 Oktober 2011, semua pengelola perpustakaan SMAN 47 Jakarta melalukan studi banding ke Dickens Library British Internasional School di Bintaro. Ini adalah kunjungan studi banding ketiga kami, yang sebelumnya kami berkunjung ke perpustakaan Insan Cendekia Serpong dan ke SMAN 70 Jakarta. Di kedua kunjungan tersebut, banyak sekali yang kami dapatkan, antara lain adalah: perubahan tata ruang (lay out) perpustakaan yang nyaman dan fungsional, penambahan perabot perpustakaan, seperti: beberapa komputer, TV layar datar bersama DVD Player, merenovasi rak buku yang tadinya satu muka menjadi dua muka, rak referensi, meja baca lesehan beserta bantal-bantal, lemari disertai tempat CD Film, meja kerja, dan banyak lagi.
        Kembali ke kunjungan studi banding ke Dickens Library British Internasional School di Bintaro. Awalnya adalah perkenalan saya ketika mengikuti seminar perpustakaan yang diadakan APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia), kebetulah Ketua APISI (Ibu Hanna Latuputi) adalah pustakawan senior di Dickens Library British Internasional School. Setelah menunggu dua bulanan, disepakati tangggal 13 Oktober 2011 kami berkunjung ke Dickens Library BIS. Kesan pertama, jujur, saya pribadi takjub melihat pengamanan yang ketat dan fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah internasional itu. Lapangan olahraga seperti; lapangan bola, tenis, kolam renang, dll. Memasuki perpustakaannya kami dibuat ternganga dengan semua fasilitas yang tersedia, tidak hanya besar, estetika dan tata ruangnya sangat menakjubkan, karpet beludru yang bersih dan bercorak warna-warni, walau setiap pengunjung memakai alas kaki, terlihat bersih dan indah. Rak-rak buku yang indah dan teratur, sofa-sofa yang megah membuat semua orang yang duduk enggan untuk bangkit, ruang audio visual dan koleksinya yang lengkap dan bermutu, ruang seminar, sampai-sampai ada ruang khusus untuk member yang tersekat kaca agar tidak terganggu bekerja membuat penelitian. Wah.., sulit mengekspresikan semua yang ada dalam bentuk tulisan, karena itu saya akan melukiskan dengan foto-foto semua fasilitas yang ada.
        Ada kebingungan pada diri saya sepulang dari kunjungan tersebut, kebingungan itu adalah: Bagaimana mengaplikasikan apa yang kami lihat untuk diterapkan di perpustakaan kami? Kesenjangannya sangat jauh sekali, ya.. sangat jauh. Untuk itu perlu ada perumusan tentang apa yang menjadi skala prioritas. Terpikirlah untuk menerapkan SNI (standar nasional Indonesia) tetang perpustakaan yang saya pelajari dari menguduh informasi itu dari internet. Pertama, standar ruang, standar minimum ruang untuk perpustakaan SMA adalah 168 M2, di perpustakaan kami, luas ruang perpustakaan baru setengah dari standar tersebut. Apa yang harus kami perbuat untuk mencapai  minimum tersebut? Ada solusi singkat, misalnya menggabungkan ruang perpustakaan dengan satu ruang kelas di sebelah perpustakaan, itupun berarti sekolah kami harus mengurangi rombongan belajar atau membangun gedung baru.  Solusi yang kongkrit? Hanya kebijakan Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta serta Kemendiknas, yang bisa menjawab. Yang kedua, standar isi, atau standar koleksi, rasio koleksi adalah satu banding sembilan, artinya, satu orang member mempunyai akses membaca sembilan judul buku. Kalau member, baik siswa maupun guru berjumlah 1.000 maka koleksi minimal yang tersedia adalah 9.000 judul buku. Akan kan terpenuhi? Jawaban optimis, harus… . Ketiga, dalam kesempatan ini saya membatasinya hanya tiga saja, mungkin dalam kesempatan lain akan saya upayakan untuk membahas SNI Perpustakaan SMA, adalah standar biaya, dan ini sudah di undangkan dalam UU No. 43 tahun 2007 tentang standar biaya perpustakaan sekolah, minimum adalah 5 % dari RAPBS setelah dikurangi biaya kepegawaian dan rumah tangga. Wahh, bisa kan ini? Saya tidak bisa memjawab, jawaban optimis, lagi-lagi harus bisa. Dan optimisme itu harus.
B.      B.  PEMBAHASAN 
Seperti  yang saya ungkapkan di atas, bahwa sulit mengekspresikan ketakjuban kami ketika studi banding ke Dickens Library British Internasional School, maka lebih tepat apabia saya ekspresikan dalam bahasa visual dalam bentuk dokomentasi hasil studi banding seperti yang terlihat di bawah ini:

Ketakjuban awal, Fasilitas  Sarana Olahraga (Lapangan Tenis) dan (Lapangan Sepak Bola), belum lagi ada kolam renang, yang tidak sempat kami dokumentasikan. Semua ini, membutuhkan lahan yang luas.

Ibu Hanna Latuputy (Kepala Perpustakaan The Dickens Library British International School) menyambut hangat dan ramah atas kunjungan Ibu Suharti Latifah, M. Pd. (WakaBid. Sarana Prasarana SMAN 47 Jakarta) mewakili Pengelola Perpustakaan SMAN 47 Jakarta.
Kepala SMA (Secondary British International School) menyambut kedatang Sivitas SMA Negeri 47 Jakarta dengan hangat dan ramah


Ibu Suharti Latifah mewakili SMAN 47 Jakarta memberikank enang-kenangan berupa plakat kepada Kepala Secondary BIS.

Fasilitas Ruang Multimedia dengan interior yang lux dan nyaman disediakan bagi siswa BIS yang ingin menonton koleksi film pembelajaran sebagai sarana edukasi dan refresing.

Koleksi Multimedia yang lengkap dan berkualitas besertaf asilitas pendukungnya seperti headset dengan kapasitas yang sempurna tersedia dan tertata rapih.
Tidak hanya lux, interior ruang baca sofa terlihat megah dan anggun, mengundang pengunjung berlama-lama untuk membaca.
Ruang baca kelompok, estetika mejabacanya saja bernilai seni, sangat mengagumkan.

Ruang kerja (ruang pengolahan data) terpisah dari ruang koleksi dan ruang baca. Membuat kerja (pengolahan data) tidak terganggu dengan layanan sirkulasi dan pengunjung.

Sistem Informasi Manajemen Perpustakaannya The Dickens BIS berbasis teknik informatika. Software ini memdukung fasilitas layanan pengolahan data, sirkulasi, laporan dan lain-lain.
Tema koleksi buku hari ini (tentang sejarah). Sampai-sampai pustakawannya sempat memberi tema koleksi buku hari ini. Sungguh ide yang kreatif dan unik. Inspiratif, sangat sempurna.
White Board Presentasi Digital sebagai sarana diskusi. Dibelakang ada seseorang sedang membaca, khusus bagi siswa yang ingin bekerja mengolah informasi tanpa ingin diganggu. Sayangnya kami kurang cermat untuk mendokumentasikan ruang tersebut secara detail.


Fasilitas layanan fotocopy dan scanner tersedia untuk siswa. Setelah siswa memperoleh bahan informasi, siswa dapat memfotocopy atau menscan sendiri hasil informasi tersebut. Fasilitas yang menakjubkan.

     Fasilitas ruang koleksi dengan karpet yang lembut dan penuh warna cerah, sangat nyaman dan artistik.

    Rak koleksi buku dengan disain dan mutu yang berkualitas.Berulang kali saya mengucap sempurna.


  Sofa untuktamu.Seorang siswa denganramah dan santun ikut berfoto bersama.

Kursi baca panjang  yang unik dan cantik. Semua tersenyum, senyum kepuasan bagi kami dan senyum keramah tamahan yang dipersembahkan oleh Ibu Hanna, terlihat tulus dan elegan.

Ruang sirkulasi (tempat transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi) dengan pelayanan yang ramah. Pelayanan yang ramah sangat dibutuhkan oleh pengunjung perpustakaan sekolah. Di depan sirkulasi  ada alat sensor untuk mendeteksi bagi siswa apabila meminjam buku tanpa melalui layanan sirkulasi. Sayangnya alat itu tidak sempat terdokumentasikan oleh kami.

Ibu Hanna dengan keramah tamahanya mengantarkan kami sampai di depan raung Tata Usaha. Suatu  etika pelayanan mendidik.Terima kasih Ibu Hanna atas semuanya. Pengalaman yang tak terlupakan bagi kami.

               Dengan mengeksresikan hasil kunjungan melalui pemilihan (reduksi) dua puluh foto yang mewakili, rasanya masih belum cukup untuk mengungkapkan apa yang kami rasakan dalam kunjungan tersebut. Memang memilih adalah kebohongan, karena dengan memilih berarti kita menghilangkan atau lebih pasnya mengurangi bahasa ungkapan. Sungguh sangat tepat dan saya rasakan bahwa bahasa yang diungkapkan adalah kebohongan, karena ungkapan dengan sendirinya akan memilih apa yang tepat dan lebih banyak meniadakan ungkapan dan ekspresi yang dirasakan dalam pikiran dan perasaan. Tetapi, paling tidak, ini adalah bahasa keterwakilan dari apa yang kami rasakan dalam kunjungan studi banding di The Dickens BIS. Semoga ini menjadi inspirasi bagi kami dan bagi pembaca dalam mengupayakan mutu pelayanan perpustakaan sekolah yang berkualitas. Harapan yang paling utama dengan peningkatan mutu pelayanan perpustakaan sekolah adalah sehingga semakin baiknya mutu pendidikan di Indonesia. Semoga.
C.      PENUTUP

Dengan adanya kegiatan studi banding, pemahaman kami akan peningkatan mutu pelayanan perpustakaan semakin bertambah. Selain itu, tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pergi ke luar negeri dalam memperoleh informasi pelayanan perpustakaan yang baik, cukup dengan berkunjung ke sekolah internasional yang ada di dalam negeri.Oleh karena itu, kegiatan studi banding ke perpustakaan-perpustakaan yang berkualitas haruslah menjadi ageunda rutin. Selain menambah wawasan, menambah jaringan persahabatan sesama pustakawan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.i harusAkan tetapi, kegiatan studi banding akan menjadi tidak bernilai apabila sekolah tidak mengimplementasikannya dalam kebijakan yang kongkrit. 
Sebagai saran yang membangun untuk menciptakan perpustakaan dengan standar nasional Indonesia (SNI), saya merumuskannya dalam beberapa point penting, diantaranya sebagai berikut: (i) Perlunya pengelola perpustakaan   membuat program kerja yang kreatif dan inovatif. (ii)Dalam upaya menciptakan perpustakaan dengan standar nasional Indonesia, perlu dibuat program kerja yang berkesinambungan dan bertahap. (iii) Adanya kebijakan pimpinan (Kepala Sekolah) yang berkesinambungan dalam upaya peningkatan mutu perpustakaan sekolah. (iv) Mendorong terwujudnya realisasi dari UU No. 43 tahun 2007 tentang standar biaya perpustakaan sekolah, minimum adalah 5 % dari RAPBS. (v) Memperluas jaringan dengan bergabung bersama organisasi-organisasi pengelola perpustakaan untuk memperjuangkan terciptanya pelayanan perpustakaan sekolah yang berkualitas. Dan lain-lain.

Selasa, 08 Mei 2012

BENDERA

         Sabtu, 05 Mei 2012 jam 03.30, dua anak muda dengan sekujur badannya berlumuran darah, setelah diantarkan taksi di geletakkan saja di depan UGD Fatmawati. Mereka, kedua pemuda itu, usut punya usut katanya, habis ribut di salah satu tempat Karoke di bilangan D Best Fatmawati. Kedua pemuda itu adalah anggota FORKABI, dan usut punya usut lagi, mereka ribut karena urusan penurunan bendera. Ya bendera, sering saya cermati, karena penurunan bedera ormas, misalnya bendera FORKABI di turunkan oleh anggota FBR, atau sebaliknya, buntutnya adalah keributan yang memakan korban. Heran sekali, untuk mengakomodasi kepentingan masyarakan BETAWI, ormas sampai membuat organisasi yang banyak, ada FBR, FORKABI,  IKB, dan juga ada KEMBANG LATAR yang konon ceritanya sudah lebih senior. Padahal, apakah tidak bisa membuat satu organisasi untuk kepentingan bersama, atau mungkin memang sulit mengurus centeng, atau bahasa lain tukang pukul, jawara. Saya percaya bahwa ide dasarnya tidak seperti itu, tetapi, realitasnya berbicara lain, karena bendera, remaja atau pemuda betawi rela bertempur apabila ada intruksi dari komandannya. Miris... Untuk hal ini, saya lebih suka dikatakan BETAWI MURTAD.. He he.. Istilah ini memang tidak tepat. Mungkin, saya lebih suka organisasi yang bersifat kemanusiaan universal dari pada parsial.
         Bendera, ya.. bendera. Fans-fans musik, seperti Slank punya bendera, Iwan Fals punya Oi dengan benderanya sendiri, macam-macam. Ya.., macam-macam. Ada lagi, Ormas yang mengatas namakan agama seperti FPI, juga mempunyai bendera. Anehnya mengatasnamakan agama,  selalu membuat kerusuhan, menteror minoritas. Hmmmm, miris, saya masih ingat kerusuhan tahun 1997, di bulai Mei, saya masih aktif di Remaja Masjid Pondok Pinang. Ada warga Pondok Pinang asli yang menjarah toko material, mengumpulkan barangnya di Masjid Ni'matul Ittihad, seperti, semen, paralon, terliplek, dll. Memang kerusuhan itu sangat mencekam, banyak toko-toko di jarah dan supermarket di bakar, imbasnya adalah material di depan masjid Pondok Pinang. Pelaku-pelakunya sebagian adalah komunitas betawi, yang tergabung dalam PUKULAN BETAWI SUNAN KALI JAGA.. Saya melakukan tindakan dengan menutup gerbang masjid, dan akhirnya saya mengalami pemukulan dan pengeroyokan, walaupun saya sudah mengingatkan, anda terserah mencuri.. asal barang-barang curian itu jangan di kumpulkan di masjid. Ini tempat suci.. Imbasnya.. beberapa pukulan bersarang di wajah dan perut saya.. memar.. benjut.. Saya tidak bisa mempertahankan untuk menutup pintu gerbang masjid.. Dan akhirnya saya lari .. Saya menangis.. menangis bukan karena sakit pukulan. Menangis karena "nilai", begitu berubah "nilai" dalam kondisi chaos. Waktu itu sekitar jam 1 malam, saya berwudhu, dan menangis, berdoa.. "kenapa Engkau tidak turun tangan"?? Dan mirisnya lagi, jam 6 pagi, terpasang bendera SAJADAH di depan material tersebut dan tulisan dengan cat, MILIK PRIBUMI.
       Belum lagi, bendera OPM; RMS, bendera GAM, dan bendera separatis lainnya.  Dan pernah ketua partai yang berkuasa sampai memberi statement, bendera partai adalah harga mati. Harus diperjuangkan sampai mati. Bendera... Untuk nasionalisme menang harus diperjuangkan sampai mati.
        Bendera Indonesia. berwarna merah putih, sederhana. Maknanya merah adalah Berani, dan putih adalah Suci. Sangat sederhana dalam makna dan sulit dalam implementasi. Sesederhana Ibu Fatmawati merajut kain Merah dan Putih yang dibuat dengan tangannya. Aku lebih suka dengan bendera itu, dan banyak sekali orang-orang yang berjiwa Nasionalisme merelakan jiwa dan raga. Sekarang nasionalisme sudah pudar, yang ada dari serpihan itu ada pada Olah Raga, seperti yang diucapkan oleh ADYAKSA DAUD mantan mempora. 
        Aku ingin, memiliki bendera. Bendera sejati ku adalah MERAH PUTIH, karena aku ingin menjadi NASIONALIS. Aku sedang berusaha mencari nilai-nilai HUMANIS yang sekarang nilai itu sudah meredup kalau tidak boleh dikatakan hilang. Aku ingin mencari bendera yang lebih UNIVERSAL.. bendera INTERNASIONALISME.. bendera KEMANUSIAAN SEJATI..  Akan ku cari BENDERA itu.. akan kuserahkan jiwa dan raga ku...