Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah
Indonesia (APISI) memprotes keras kebijakan Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan (P dan K) Kabupaten Purworejo dalam penyelesaian kasus
pemukulan guru terhadap siswanya di SMPN 26 Purworejo beberapa waktu
lalu. APISI menilai kebijakan Bambang dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut dinilainya telah memperburuk citra perpustakaan sekolah. Dalam
siaran persnya yang dimuat dalam website dengan domain http://apisi.org, APISI
menyatakan, kasus yang terjadi di Purworejo itu merupakan yang kedua
kalinya citra perpustakaan sekolah di Indonesia diperburuk. Pasalnya,
penempatan guru bermasalah di perpustakaan itu mengesankan bahwa
perpustakaan menjadi tempat pembuangan sekaligus sanksi bagi guru-guru
yang bermasalah.[1]
Mencoba menanggapi tulisan yang
di posting Ibu Hanna (Ketua APISI sekaligus Pustakawan Senior
Perpustakaan British Internasional School) memang miris, tapi tidak
dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang saya masih mendengar cerita dari
teman-teman pengelola perpustakaan, bahwa petugas perpustakaan adalah
orang-orang yang dibuang atau pegawai negeri yang masa pensiunnya hampir
habis, ini masih terjadi di Jakarta. Oleh karena itu, jangan
mengharapkan pengembangan perpustakaan apabila petugas perpustakaannya
tidak mempunya kreatifas, program kerja yang jelas, dan pemahaman akan
peran perpustakaan sebagai pusat informasi. Kuncinya, walaupun ini
reduksionis (menyederhanakan) ada di tangan pengelola perpustakaan itu
sendiri. Waduh.., saya jadi takut “keroyoki” pengelola perpustakan kalau
bicara seperti ini.. Ha ha.. Paling tidak ini adalah kritik kedalam,
apa iya saya seperti itu? Nah kalau tidak mau dikatakan seperti itu,
pengelola perpustakaan harus mempunyai kemauan untuk memahami peran
perpustakaan dan juga mewujudkan program kerja yang baik.
Hampir bisa dipastikan, bahwa pengelola perpustakaan mengelak apabila dijadikan biangkeladi dari buruknya perpustakaan sekolah, semuanya akan melimpahkan kesalahan kepada kebijakan pimpinan sekolah yang tidak fokus pada pengelolaan perpustakaan. Banyak kepala sekolah yang menganggap bahwa perpustakaan hanya sekedar sarana pelengkap, bukan sebagai pusat informasi dan sumber belajar. Banyak sekali keluhan datang dari pengelola perpustakaan sekolah bahwa Kepala Sekolah tidak memberikan dukungan yang maksimal akan keberadaan perpustakaan sekolah. Banyak sekali Kepala Sekolah yang hanya bicara mendukung kualitas perpustakaan sekolah tetapi tidak diwujudkan dengan kebijakan yang nyata untuk meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah.
Belum lagi, kondisi perpustakaan yang tidak nyaman untuk di kunjungi karena tata letak yang sumpek dan sempit, seakan-akan perpustakaan sekolah adalah tempat penyimpanan buku-buku paket dan buku paket itu lebih banyak yang sudah tidak sesuai kurikulum yang diajarkan. Tambah lagi, bicara anggaran yang idealnya minimal 5 % dari APBS, masih jauh dari semestinya, bahkan banyak sekolah yang sama sekali tidak menganggarkan untuk mengelola perpustakaannya. Miris… Sangat miris.. Ini masih terjadi di SMA dan bahkan di DKI Jakarta.
Hampir bisa dipastikan, bahwa pengelola perpustakaan mengelak apabila dijadikan biangkeladi dari buruknya perpustakaan sekolah, semuanya akan melimpahkan kesalahan kepada kebijakan pimpinan sekolah yang tidak fokus pada pengelolaan perpustakaan. Banyak kepala sekolah yang menganggap bahwa perpustakaan hanya sekedar sarana pelengkap, bukan sebagai pusat informasi dan sumber belajar. Banyak sekali keluhan datang dari pengelola perpustakaan sekolah bahwa Kepala Sekolah tidak memberikan dukungan yang maksimal akan keberadaan perpustakaan sekolah. Banyak sekali Kepala Sekolah yang hanya bicara mendukung kualitas perpustakaan sekolah tetapi tidak diwujudkan dengan kebijakan yang nyata untuk meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah.
Belum lagi, kondisi perpustakaan yang tidak nyaman untuk di kunjungi karena tata letak yang sumpek dan sempit, seakan-akan perpustakaan sekolah adalah tempat penyimpanan buku-buku paket dan buku paket itu lebih banyak yang sudah tidak sesuai kurikulum yang diajarkan. Tambah lagi, bicara anggaran yang idealnya minimal 5 % dari APBS, masih jauh dari semestinya, bahkan banyak sekolah yang sama sekali tidak menganggarkan untuk mengelola perpustakaannya. Miris… Sangat miris.. Ini masih terjadi di SMA dan bahkan di DKI Jakarta.
Semua ulasan yang saya
kemukankan bukan ungkapan yang “emosional” tetapi berdasarkan hasil
kunjungan saya sebagai Ketua Wilayah Jakarta Selatan (MPPS/ Musyawaran
Pengelola Perpustakaan Sekolah) SMA DKI Jakarta selama 4 bulan. Dari
sekolah yang saya kunjungi, SMAN 46, 87, 63, masih jauh dari mutu
perpustakaan sekolah yang ideal. Di ketiga sekolah itu, tata ruang
perpustakaan nya masih tidak nyaman dan sumpek, tambah lagi, sistem
informasi manajeman perputakaannya masih manual, padahal, sudah ada
software sistem informasi manajemen perpustakaan berbasis web yang dapat
diunduh (download) secara gratis (dengan nama SENAYAN). Masalah
anggaran masih menjadi kendala, karena semua sekolah tidak consernterhadap
anggaran perpustakaan, jangan lah berharap 5 % dari APBS yang di
alokasikan untuk perpustakaan, adanya anggaran secara rutin yang
diberikan untuk mengelola perpustakaan saja sudah menyenangkan. Yang
paling lucu, ada pembenaran dari pengelola perpustakaan bahwa
siswa-siswa sekarang minat bacanya sudah pudar, padahal pengelola
perpustakaannya tidak mempunyai agenda untuk memperbaiki kualitas
mengelola manajemen perpustakaan di sekolahnya. Saya kok masih yakin,
kalau perpustakaan di kelola dengan baik, tata ruang yang nyaman,
koleksi yang berkualitas, fasilitas lain yang mendukung tersedia, dengan
sendirinya minat kunjung dan minat baca di perpustakaan semakin
membaik.
Tapi kita tidak perlu optimis
dan menyalahkan siapa pun. Dalam kesempatan ini, di ruang ini, saya
mengajak pengelola perpustakaan untuk melakukan aksi mendesak atau dalam
bahasa halus mendorong kebijakan Kepala Sekolah untuk memprioritaskan
pada peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan perpustakaan
sekolah yang berkualitas. Seandainya pengelola perpustakaan sekolah
ditantang untuk membuat program perpustakaan sekolah yang kreatif, mulai
dari mana? Cobalah buat program kerja yang sederhana, misalnya, seperti
yang saya lakukan di SMA Negeri 47 Jakarta. Pertama sekali
saya mengusulkan untuk merubah tata ruang (lay out) perpustakaan
sekolah yang nyaman, rak-rak buku dibuat dua sisi, tinggal merenovasi
rak yang sudah ada menjadi dua sisi. Kedua, membah perabot perpustakaan, seperti beberapa komputer untuk siswa mengaksesi internet.Ketiga, membuat ruang kerja, untuk pengolahan koleksi, dan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian buku),Keempat, menciptakan ruang baca santai dilengkapi dengan TV untuk siswa menonton film-film pembelajaran.Kelima,
mengadakan Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan dengan mengatakan
software perpustakaan. Sekarang ini, sudah ada software perpustakaan
gratis yang bisa diunduh (download) bernama SENAYAN, pengelola
perpustakaan tinggal mempelajari bagaimana mengoperasikan software
tersebut. Perpustakaan SMA Negeri 47 Jakarta memakai software LONTAR
yang di pakai Perpustakaan UI, Perpustakaan UIN Pusat, Perpustakaan
Insan Cendekia, hanya saja software ini memang mahal harganya. Dengan
Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan ini maka pengelola perpustakaan
akan mudah mengolah buku, katalog on line (OPAC), laporan-laporan,
keanggotaan, dll. Jadi di zaman informasi ini, tidak ada lagi
perpustakaan sekolah masih melalukan manajemen perpustakaannya secara
manual (pencatatan manual), ini sangat membantu dalam mengoperasikan
manajeman perpustakaan sekolah.
Semua pengelola perpustakaan pasti sepakat, bahwa urusan ini harus diakhiri atau paling tidak diselesaikan. Maka, bermunculan lah organisasi pengelola perpustakaan sekolah seperti APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (sebagai organisasi sosial), di bawah Perpustakaan Nasional berdiri Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia, kemudian, di bawah Kemendiknas, katanya, berdiri Asosiasi Tenaga Perpustakaan Indonesia (ATPUSI) dan hampir setahun lalu, di bawah Dinas Pendidikan DKI Jakarta, berdiri pula, Musyawarah Pengelola Perpustakaan Sekolah (MPPS). Harapannya adalah dengan adanya organisasi tersebut, pengelola perpustakaan tidak berjuang sendiri-sendiri untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaannya. Walaupun, kenyataannya, semua organisasi ini mengklaim bahwa organisasinya lah yang mengapresiasikan perjuangan pengelola perpustakaan sekolah, sehingga semua berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Nyanyian minor ini pun bukan untuk menambah masalah baru, tetapi, sebagai kritikan kepada pemerhati perpustakaan sekolah dengan slogan: PENGELOLA PERPUSKATAAN SEKOLAH.. BERSATULAH….
Semua pengelola perpustakaan pasti sepakat, bahwa urusan ini harus diakhiri atau paling tidak diselesaikan. Maka, bermunculan lah organisasi pengelola perpustakaan sekolah seperti APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (sebagai organisasi sosial), di bawah Perpustakaan Nasional berdiri Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia, kemudian, di bawah Kemendiknas, katanya, berdiri Asosiasi Tenaga Perpustakaan Indonesia (ATPUSI) dan hampir setahun lalu, di bawah Dinas Pendidikan DKI Jakarta, berdiri pula, Musyawarah Pengelola Perpustakaan Sekolah (MPPS). Harapannya adalah dengan adanya organisasi tersebut, pengelola perpustakaan tidak berjuang sendiri-sendiri untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaannya. Walaupun, kenyataannya, semua organisasi ini mengklaim bahwa organisasinya lah yang mengapresiasikan perjuangan pengelola perpustakaan sekolah, sehingga semua berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Nyanyian minor ini pun bukan untuk menambah masalah baru, tetapi, sebagai kritikan kepada pemerhati perpustakaan sekolah dengan slogan: PENGELOLA PERPUSKATAAN SEKOLAH.. BERSATULAH….
Dalam mengimplementasikan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 pasal 23 tentang
Perpustakaan yang menyebutkan bahwa : ”Setiap sekolah/ madrasah
menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional
perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan”, maka
komunikasi antar pengelola perpustakaan secara interns diperlukan,
setiap pengelola boleh memakai kendaraan organisasi apapun yang ada.
Hanya saja, harus diagendakan tentang adanya pertemuan besar dalam wujud
lokakarya untuk mengagendakan peningkatan kualitas dan mutu
perpustakaan sekolah yang berkesimbungan.
Selamat pagi pak, tulisannya menarik, saya setuju dengan pendapat yg bapak kemukakan pada artikel tersebut. Btw pak, perpustakaan di sma 47 dikrimi digital library tidak? yg komputer berjumlah kurang lebih 40 itu?
BalasHapus