Kendala
awal setiap kali ingin mengungkapkan gagasan dalam bahasa tulis adalah pada star
awal, banyak orang yang berpendapat begitu, dan saya menyetujuinya, sangat setuju.
Sementatra banyak sekali penulis, begitu meletakkan jemari tangannya di
keyboard laptop, melesat apa yang ada di dalam gagasannya tertuang dalam tulisan,
seperti mendapat ilham. Sementara saya,
bukanlah penulis yang baik. Memahami konsep menulis saja tidak, minder, merasa
bahwa gagasan yang akan saya kemukakan sudah pernah ada yang mengungkapkannya
lebih awal dengan pisau analisa yang tajam dan bernas. Pernah saya di tertawai
karena tulisan saya tentang ”bendera,” ini membuat keberanian mengekspresikan
gagasan dalam bentuk tulisan semakin pudar. Lemas. Saya akui memang tulisan itu
adalah refleksi spontan dan boleh dikatakan sebuah curhat kacangan. Suatu hari,
energi saya mulai naik kembali, ketika ada teman lama yang ingin melihat apa
yang ada dalam ide saya dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk memenuhi keinginan
ini, saya akan mencoba. Walau saya tahu, harapannya tidak akan bisa saya penuhi
secara utuh. Tetapi, saya akan mencobanya maksimal.. Tidak lebih.
Banyak,
orang bilang era sekarang adalah era informasi, artinya semua informasi mudah
didapat, gagasan-gagasan seperti super megamall. Layaknya super megamall,
setiap “pengunjung” disuguhkan produk-produk beraneka ragam, mereka secara subyektif
membeli apa saja yang dibutuhkannya, dan hampir dipastikan bahwa setiap
“pengunjung” mempunyai kebutuhan yang berbeda, walaupun ada beberapa hal
kebutuhan yang sama. Seperti itulah analogi gagasan di era informasi. Kita
tinggal masuk ke dalam search engine yang disediakan seperti google, yahoo, dan
banyak lagi. Ketik kata apa saja dalam “mesin pencarian” maka kita akan disuguhkan
berbagai gagsan sesuai kata kunci yang kita cari. Apa lagi kalau kita sudah menemukan link yang
kita butuhkan. Kita tinggal mengambil gagasan yang kita butuhkan pada link
tersebut. Luar biasa, dunia begitu cepat melesat. Sementara pemahaman ini baru
saya dapatkan dua tahun belakangan.
Kembali
ke wacana menulis, ada seorang teman, ingin mempublikasikan cerpennya di salah
satu surat kabar, tetapi karyanya ditolak, mungkin alasan yang mudah diterima
karena tulisan itu tidak mempunyai nilai komersial. Mungkin banyak sekali orang yang bernasib sama
ketika dibenturkan dengan redaktur surat kabar. Itulah era industri, semua produk dinilai dari apakah
produk tersebut bernilai jual atau tidak. Lain halnya di era informasi, kita
bisa membuka “warung” yang sewanya hanya ratusan ribu pertahun. Kita tinggal
membuka alamat web yang kita inginkan, dan menyimpan data kita di hosting. Coba
bayangkan, kalo kita berjualan di dunia real. Berapa juta rupiah uang yang
harus kita keluarkan untuk menyewa tempat berdagang. Bahkan, di era informasi
disediakan “warung-warung” gratisan untuk memperkenalkan “karya” dan produk
kita. Tambah lagi, kelebihan yang didapat di era infromasi sekarang ini, kita
sebagai penulis juga sebagai editor bahkan sebagai marketing pemasaran untuk
mempublikasikan web atau blog yang kita punya. Awalnya saya heran, ada seorang
penulis membukukan tulisannnya di blog menjadi buku yang hasilnya menjadi best
seller, padahal tulisannya adalah catatan harian beliau, bahasa yang digunakan
adalah bahasa lisan yang ditulis, sangat spontan, dia adalah Raditya Dika, dia
telah menjadi seorang yang popular sekarang, luar biasa, terlepas dari bobot
tulisannya yang spontan. Tentu, persoalan yang harus dihadapi oleh penulis di
era informasi ini adalah mempertanggung jawabkan apa yang ditulisnya kepada
pembaca. Sebagai hasil karya, penulis mempunyai pesan yang akan diungkapkan
kepada pembaca. Karena tulisan bisa menjadi media ekspresi penulis yang
berjarak ruang dan waktu kepada pembacanya. Bagitu tulisan telah dipublikasikan,
maka ia menjadi milik publik, dan akan dinikmati oleh pembaca dengan latar
belakang dan seting sosial yang berbeda. Sedikit yang saya tahu, maka penting
untuk memahami seting sosial penulis untuk membaca tulisannya, kenapa? Karena
hasil tulisan yang ditulis di penjara akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan
tulisan yang ditulis di alam bebas dan demokratis. Itu sedikit yang saya pahami
dari hermeneutika.
Waduh, melantur jauh sekali dari wacananya…,
maklum terlalu spontan. Moga pembaca bisa menangkap apa pesannya. Mungkin dalam
kesempatan curah gagasan lain saya akan focus pada satu wacana. Dan mungkin,
perlahan, karena diasah pisau analisa saya, maka tulisan-tulisan saya
berikutnya akan semakin tajam dan bermutu. Semoga, itu adalah harapan saya