Selasa, 24 September 2013

Realita Perpustakaan Kita

Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (APISI) memprotes keras kebijakan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Kabupaten Purworejo dalam penyelesaian kasus pemukulan guru terhadap siswanya di SMPN 26 Purworejo beberapa waktu lalu. APISI menilai kebijakan Bambang dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dinilainya telah memperburuk citra perpustakaan sekolah. Dalam siaran persnya yang dimuat dalam website dengan domain http://apisi.org, APISI menyatakan, kasus yang terjadi di Purworejo itu merupakan yang kedua kalinya citra perpustakaan sekolah di Indonesia diperburuk. Pasalnya, penempatan guru bermasalah di perpustakaan itu mengesankan bahwa perpustakaan menjadi tempat pembuangan sekaligus sanksi bagi guru-guru yang bermasalah.[1]
realita perpustakaan kita
realita perpustakaan kita
      Mencoba menanggapi tulisan yang di posting Ibu Hanna (Ketua APISI sekaligus Pustakawan Senior Perpustakaan British Internasional School) memang miris, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang saya masih mendengar cerita dari teman-teman pengelola perpustakaan, bahwa petugas perpustakaan adalah orang-orang yang dibuang atau pegawai negeri yang masa pensiunnya hampir habis, ini masih terjadi di Jakarta. Oleh karena itu, jangan mengharapkan pengembangan perpustakaan apabila petugas perpustakaannya tidak mempunya kreatifas, program kerja yang jelas, dan pemahaman akan peran perpustakaan sebagai pusat informasi. Kuncinya, walaupun ini reduksionis (menyederhanakan) ada di tangan pengelola perpustakaan itu sendiri. Waduh.., saya jadi takut “keroyoki” pengelola perpustakan kalau bicara seperti ini.. Ha ha.. Paling tidak ini adalah kritik kedalam, apa iya saya seperti itu? Nah kalau tidak mau dikatakan seperti itu, pengelola perpustakaan harus mempunyai kemauan untuk memahami peran perpustakaan dan juga mewujudkan program kerja yang baik.
Hampir bisa dipastikan, bahwa pengelola perpustakaan mengelak apabila dijadikan biangkeladi dari buruknya perpustakaan sekolah, semuanya akan melimpahkan kesalahan kepada kebijakan pimpinan sekolah yang tidak fokus pada pengelolaan perpustakaan. Banyak kepala sekolah yang menganggap bahwa perpustakaan hanya sekedar sarana pelengkap, bukan sebagai pusat informasi dan sumber belajar. Banyak sekali keluhan datang dari pengelola perpustakaan sekolah bahwa Kepala Sekolah tidak memberikan dukungan yang maksimal akan keberadaan perpustakaan sekolah. Banyak sekali Kepala Sekolah yang hanya bicara mendukung kualitas perpustakaan sekolah tetapi tidak diwujudkan dengan kebijakan yang nyata untuk meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah.
Belum lagi, kondisi perpustakaan yang tidak nyaman untuk di kunjungi karena tata letak yang sumpek dan sempit, seakan-akan perpustakaan sekolah adalah tempat penyimpanan buku-buku paket dan buku paket itu lebih banyak yang sudah tidak sesuai kurikulum yang diajarkan. Tambah lagi, bicara anggaran yang idealnya minimal 5 % dari APBS, masih jauh dari semestinya, bahkan banyak sekolah yang sama sekali tidak menganggarkan untuk mengelola perpustakaannya. Miris… Sangat miris.. Ini masih terjadi di SMA dan bahkan di DKI Jakarta.
         Semua ulasan yang saya kemukankan bukan ungkapan yang “emosional” tetapi berdasarkan hasil kunjungan saya sebagai Ketua Wilayah Jakarta Selatan (MPPS/ Musyawaran Pengelola Perpustakaan Sekolah) SMA DKI Jakarta selama 4 bulan. Dari sekolah yang saya kunjungi, SMAN 46, 87, 63, masih jauh dari mutu perpustakaan sekolah yang ideal. Di ketiga sekolah itu, tata ruang perpustakaan nya masih tidak nyaman dan sumpek, tambah lagi, sistem informasi manajeman perputakaannya masih manual, padahal, sudah ada software sistem informasi manajemen perpustakaan berbasis web yang dapat diunduh (download) secara gratis (dengan nama SENAYAN). Masalah anggaran masih menjadi kendala, karena semua sekolah tidak consernterhadap anggaran perpustakaan, jangan lah berharap 5 % dari APBS yang di alokasikan untuk perpustakaan, adanya anggaran secara rutin yang diberikan untuk mengelola perpustakaan saja sudah menyenangkan. Yang paling lucu, ada pembenaran dari pengelola perpustakaan bahwa siswa-siswa sekarang minat bacanya sudah pudar, padahal pengelola perpustakaannya tidak mempunyai agenda untuk memperbaiki kualitas mengelola manajemen perpustakaan di sekolahnya. Saya kok masih yakin, kalau perpustakaan di kelola dengan baik, tata ruang yang nyaman, koleksi yang berkualitas, fasilitas lain yang mendukung tersedia, dengan sendirinya minat kunjung dan minat baca di perpustakaan semakin membaik.
         Tapi kita tidak perlu optimis dan menyalahkan siapa pun. Dalam kesempatan ini, di ruang ini, saya mengajak pengelola perpustakaan untuk melakukan aksi mendesak atau dalam bahasa halus mendorong kebijakan Kepala Sekolah untuk memprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan perpustakaan sekolah yang berkualitas. Seandainya pengelola perpustakaan sekolah ditantang untuk membuat program perpustakaan sekolah yang kreatif, mulai dari mana? Cobalah buat program kerja yang sederhana, misalnya, seperti yang saya lakukan di SMA Negeri 47 Jakarta. Pertama sekali saya mengusulkan untuk merubah tata ruang (lay out) perpustakaan sekolah yang nyaman, rak-rak buku dibuat dua sisi, tinggal merenovasi rak yang sudah ada menjadi dua sisi. Kedua, membah perabot perpustakaan, seperti beberapa komputer untuk siswa mengaksesi  internet.Ketiga, membuat ruang kerja, untuk pengolahan koleksi, dan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian buku),Keempat, menciptakan ruang baca santai dilengkapi dengan TV untuk siswa menonton film-film pembelajaran.Kelima, mengadakan Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan dengan mengatakan software perpustakaan. Sekarang ini, sudah ada software perpustakaan gratis yang bisa diunduh  (download) bernama SENAYAN, pengelola perpustakaan tinggal mempelajari bagaimana mengoperasikan software tersebut. Perpustakaan SMA Negeri 47 Jakarta memakai software LONTAR yang di pakai Perpustakaan UI, Perpustakaan UIN Pusat, Perpustakaan Insan Cendekia, hanya saja software ini memang mahal harganya. Dengan Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan ini maka pengelola perpustakaan akan mudah mengolah buku, katalog on line (OPAC), laporan-laporan, keanggotaan, dll. Jadi di zaman informasi ini, tidak ada lagi perpustakaan sekolah masih melalukan manajemen perpustakaannya secara manual (pencatatan manual), ini sangat membantu dalam mengoperasikan manajeman perpustakaan sekolah.
Semua pengelola perpustakaan pasti sepakat, bahwa urusan ini harus diakhiri atau paling tidak diselesaikan. Maka, bermunculan lah organisasi pengelola perpustakaan sekolah seperti APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (sebagai organisasi sosial), di bawah Perpustakaan Nasional berdiri Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia, kemudian, di bawah Kemendiknas, katanya, berdiri Asosiasi Tenaga Perpustakaan Indonesia (ATPUSI) dan hampir setahun lalu, di bawah Dinas Pendidikan DKI Jakarta, berdiri pula, Musyawarah Pengelola Perpustakaan Sekolah (MPPS). Harapannya adalah dengan adanya organisasi tersebut, pengelola perpustakaan tidak berjuang sendiri-sendiri untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaannya. Walaupun, kenyataannya, semua organisasi ini mengklaim bahwa organisasinya lah yang mengapresiasikan perjuangan pengelola perpustakaan sekolah, sehingga semua berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Nyanyian minor ini pun bukan untuk menambah masalah baru, tetapi, sebagai kritikan kepada pemerhati perpustakaan sekolah dengan slogan: PENGELOLA PERPUSKATAAN SEKOLAH.. BERSATULAH….
           Dalam mengimplementasikan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 pasal 23 tentang Perpustakaan yang menyebutkan bahwa : ”Setiap sekolah/ madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan”, maka komunikasi antar pengelola perpustakaan secara interns diperlukan, setiap pengelola boleh memakai kendaraan organisasi apapun yang ada. Hanya saja, harus diagendakan tentang adanya pertemuan besar dalam wujud lokakarya untuk mengagendakan peningkatan kualitas dan mutu perpustakaan sekolah yang berkesimbungan.