Selasa, 17 Juli 2012

MENCOBA MENULIS TANPA BATAS


Kendala awal setiap kali ingin mengungkapkan gagasan dalam bahasa tulis adalah pada star awal, banyak orang yang berpendapat begitu, dan saya menyetujuinya, sangat setuju. Sementatra banyak sekali penulis, begitu meletakkan jemari tangannya di keyboard laptop, melesat apa yang ada di dalam gagasannya tertuang dalam tulisan, seperti mendapat ilham.  Sementara saya, bukanlah penulis yang baik. Memahami konsep menulis saja tidak, minder, merasa bahwa gagasan yang akan saya kemukakan sudah pernah ada yang mengungkapkannya lebih awal dengan pisau analisa yang tajam dan bernas. Pernah saya di tertawai karena tulisan saya tentang ”bendera,” ini membuat keberanian mengekspresikan gagasan dalam bentuk tulisan semakin pudar. Lemas. Saya akui memang tulisan itu adalah refleksi spontan dan boleh dikatakan sebuah curhat kacangan. Suatu hari, energi saya mulai naik kembali, ketika ada teman lama yang ingin melihat apa yang ada dalam ide saya dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk memenuhi keinginan ini, saya akan mencoba. Walau saya tahu, harapannya tidak akan bisa saya penuhi secara utuh. Tetapi, saya akan mencobanya maksimal.. Tidak lebih.
Banyak, orang bilang era sekarang adalah era informasi, artinya semua informasi mudah didapat, gagasan-gagasan seperti super megamall. Layaknya super megamall, setiap “pengunjung” disuguhkan produk-produk beraneka ragam, mereka secara subyektif membeli apa saja yang dibutuhkannya, dan hampir dipastikan bahwa setiap “pengunjung” mempunyai kebutuhan yang berbeda, walaupun ada beberapa hal kebutuhan yang sama. Seperti itulah analogi gagasan di era informasi. Kita tinggal masuk ke dalam search engine yang disediakan seperti google, yahoo, dan banyak lagi. Ketik kata apa saja dalam “mesin pencarian” maka kita akan disuguhkan berbagai gagsan sesuai kata kunci yang kita cari.  Apa lagi kalau kita sudah menemukan link yang kita butuhkan. Kita tinggal mengambil gagasan yang kita butuhkan pada link tersebut. Luar biasa, dunia begitu cepat melesat. Sementara pemahaman ini baru saya dapatkan dua tahun belakangan.
Kembali ke wacana menulis, ada seorang teman, ingin mempublikasikan cerpennya di salah satu surat kabar, tetapi karyanya ditolak, mungkin alasan yang mudah diterima karena tulisan itu tidak mempunyai nilai komersial.  Mungkin banyak sekali orang yang bernasib sama ketika dibenturkan dengan redaktur surat kabar. Itulah era  industri, semua produk dinilai dari apakah produk tersebut bernilai jual atau tidak. Lain halnya di era informasi, kita bisa membuka “warung” yang sewanya hanya ratusan ribu pertahun. Kita tinggal membuka alamat web yang kita inginkan, dan menyimpan data kita di hosting. Coba bayangkan, kalo kita berjualan di dunia real. Berapa juta rupiah uang yang harus kita keluarkan untuk menyewa tempat berdagang. Bahkan, di era informasi disediakan “warung-warung” gratisan untuk memperkenalkan “karya” dan produk kita. Tambah lagi, kelebihan yang didapat di era infromasi sekarang ini, kita sebagai penulis juga sebagai editor bahkan sebagai marketing pemasaran untuk mempublikasikan web atau blog yang kita punya. Awalnya saya heran, ada seorang penulis membukukan tulisannnya di blog menjadi buku yang hasilnya menjadi best seller, padahal tulisannya adalah catatan harian beliau, bahasa yang digunakan adalah bahasa lisan yang ditulis, sangat spontan, dia adalah Raditya Dika, dia telah menjadi seorang yang popular sekarang, luar biasa, terlepas dari bobot tulisannya yang spontan. Tentu, persoalan yang harus dihadapi oleh penulis di era informasi ini adalah mempertanggung jawabkan apa yang ditulisnya kepada pembaca. Sebagai hasil karya, penulis mempunyai pesan yang akan diungkapkan kepada pembaca. Karena tulisan bisa menjadi media ekspresi penulis yang berjarak ruang dan waktu kepada pembacanya. Bagitu tulisan telah dipublikasikan, maka ia menjadi milik publik, dan akan dinikmati oleh pembaca dengan latar belakang dan seting sosial yang berbeda. Sedikit yang saya tahu, maka penting untuk memahami seting sosial penulis untuk membaca tulisannya, kenapa? Karena hasil tulisan yang ditulis di penjara akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan tulisan yang ditulis di alam bebas dan demokratis. Itu sedikit yang saya pahami dari hermeneutika.
Waduh, melantur jauh sekali dari wacananya…, maklum terlalu spontan. Moga pembaca bisa menangkap apa pesannya. Mungkin dalam kesempatan curah gagasan lain saya akan focus pada satu wacana. Dan mungkin, perlahan, karena diasah pisau analisa saya, maka tulisan-tulisan saya berikutnya akan semakin tajam dan bermutu. Semoga, itu adalah harapan saya