Jumat, 11 Mei 2012

STUDI BANDING KE DICKENS LIBRARY BRITISH INTERNATIONAL SCHOOL BINTARO 13 OKTOBER 2011


A.      A.  PENDAHULUAN     
          
Membuat program kerja yang kreatif, salah satu contohnya  adalah berkunjung ke perpustakaan yang mempunyai kualitas pelayanan yang baik, membuat kita (pengelola) perpustakaan akan terbuka akan wawasan pengelolaan perpustakaan sekolah yang bermutu. Tetapi, yang lebi, penting lagi adalah mengaplikasikan semua pemahaman yang didapat dari hasil kunjugan tersebut ke dalam program kerja perpustakaan dimana tempat kita bekerja. Sebab, akan sia-sia saja semua hal yang didapat untuk pembenahan perpustakaan yang kita kelola kalau implementasinya tidak ada. Paling tidak, hanya dua yang didapat dari hasil kunjungan tersebut apabila tidak diaplikasikan secara nyata: (i) pemborosan anggaran yang di keluarkan, dan ke (ii) menjadi refresing (jalan-jalan) semata. Nah, lagi-lagi, biasanya kebijakan pimpinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpustkaan sekolah menjadi hal yang fundamental.
        Kali ini, 13 Oktober 2011, semua pengelola perpustakaan SMAN 47 Jakarta melalukan studi banding ke Dickens Library British Internasional School di Bintaro. Ini adalah kunjungan studi banding ketiga kami, yang sebelumnya kami berkunjung ke perpustakaan Insan Cendekia Serpong dan ke SMAN 70 Jakarta. Di kedua kunjungan tersebut, banyak sekali yang kami dapatkan, antara lain adalah: perubahan tata ruang (lay out) perpustakaan yang nyaman dan fungsional, penambahan perabot perpustakaan, seperti: beberapa komputer, TV layar datar bersama DVD Player, merenovasi rak buku yang tadinya satu muka menjadi dua muka, rak referensi, meja baca lesehan beserta bantal-bantal, lemari disertai tempat CD Film, meja kerja, dan banyak lagi.
        Kembali ke kunjungan studi banding ke Dickens Library British Internasional School di Bintaro. Awalnya adalah perkenalan saya ketika mengikuti seminar perpustakaan yang diadakan APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia), kebetulah Ketua APISI (Ibu Hanna Latuputi) adalah pustakawan senior di Dickens Library British Internasional School. Setelah menunggu dua bulanan, disepakati tangggal 13 Oktober 2011 kami berkunjung ke Dickens Library BIS. Kesan pertama, jujur, saya pribadi takjub melihat pengamanan yang ketat dan fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah internasional itu. Lapangan olahraga seperti; lapangan bola, tenis, kolam renang, dll. Memasuki perpustakaannya kami dibuat ternganga dengan semua fasilitas yang tersedia, tidak hanya besar, estetika dan tata ruangnya sangat menakjubkan, karpet beludru yang bersih dan bercorak warna-warni, walau setiap pengunjung memakai alas kaki, terlihat bersih dan indah. Rak-rak buku yang indah dan teratur, sofa-sofa yang megah membuat semua orang yang duduk enggan untuk bangkit, ruang audio visual dan koleksinya yang lengkap dan bermutu, ruang seminar, sampai-sampai ada ruang khusus untuk member yang tersekat kaca agar tidak terganggu bekerja membuat penelitian. Wah.., sulit mengekspresikan semua yang ada dalam bentuk tulisan, karena itu saya akan melukiskan dengan foto-foto semua fasilitas yang ada.
        Ada kebingungan pada diri saya sepulang dari kunjungan tersebut, kebingungan itu adalah: Bagaimana mengaplikasikan apa yang kami lihat untuk diterapkan di perpustakaan kami? Kesenjangannya sangat jauh sekali, ya.. sangat jauh. Untuk itu perlu ada perumusan tentang apa yang menjadi skala prioritas. Terpikirlah untuk menerapkan SNI (standar nasional Indonesia) tetang perpustakaan yang saya pelajari dari menguduh informasi itu dari internet. Pertama, standar ruang, standar minimum ruang untuk perpustakaan SMA adalah 168 M2, di perpustakaan kami, luas ruang perpustakaan baru setengah dari standar tersebut. Apa yang harus kami perbuat untuk mencapai  minimum tersebut? Ada solusi singkat, misalnya menggabungkan ruang perpustakaan dengan satu ruang kelas di sebelah perpustakaan, itupun berarti sekolah kami harus mengurangi rombongan belajar atau membangun gedung baru.  Solusi yang kongkrit? Hanya kebijakan Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta serta Kemendiknas, yang bisa menjawab. Yang kedua, standar isi, atau standar koleksi, rasio koleksi adalah satu banding sembilan, artinya, satu orang member mempunyai akses membaca sembilan judul buku. Kalau member, baik siswa maupun guru berjumlah 1.000 maka koleksi minimal yang tersedia adalah 9.000 judul buku. Akan kan terpenuhi? Jawaban optimis, harus… . Ketiga, dalam kesempatan ini saya membatasinya hanya tiga saja, mungkin dalam kesempatan lain akan saya upayakan untuk membahas SNI Perpustakaan SMA, adalah standar biaya, dan ini sudah di undangkan dalam UU No. 43 tahun 2007 tentang standar biaya perpustakaan sekolah, minimum adalah 5 % dari RAPBS setelah dikurangi biaya kepegawaian dan rumah tangga. Wahh, bisa kan ini? Saya tidak bisa memjawab, jawaban optimis, lagi-lagi harus bisa. Dan optimisme itu harus.
B.      B.  PEMBAHASAN 
Seperti  yang saya ungkapkan di atas, bahwa sulit mengekspresikan ketakjuban kami ketika studi banding ke Dickens Library British Internasional School, maka lebih tepat apabia saya ekspresikan dalam bahasa visual dalam bentuk dokomentasi hasil studi banding seperti yang terlihat di bawah ini:

Ketakjuban awal, Fasilitas  Sarana Olahraga (Lapangan Tenis) dan (Lapangan Sepak Bola), belum lagi ada kolam renang, yang tidak sempat kami dokumentasikan. Semua ini, membutuhkan lahan yang luas.

Ibu Hanna Latuputy (Kepala Perpustakaan The Dickens Library British International School) menyambut hangat dan ramah atas kunjungan Ibu Suharti Latifah, M. Pd. (WakaBid. Sarana Prasarana SMAN 47 Jakarta) mewakili Pengelola Perpustakaan SMAN 47 Jakarta.
Kepala SMA (Secondary British International School) menyambut kedatang Sivitas SMA Negeri 47 Jakarta dengan hangat dan ramah


Ibu Suharti Latifah mewakili SMAN 47 Jakarta memberikank enang-kenangan berupa plakat kepada Kepala Secondary BIS.

Fasilitas Ruang Multimedia dengan interior yang lux dan nyaman disediakan bagi siswa BIS yang ingin menonton koleksi film pembelajaran sebagai sarana edukasi dan refresing.

Koleksi Multimedia yang lengkap dan berkualitas besertaf asilitas pendukungnya seperti headset dengan kapasitas yang sempurna tersedia dan tertata rapih.
Tidak hanya lux, interior ruang baca sofa terlihat megah dan anggun, mengundang pengunjung berlama-lama untuk membaca.
Ruang baca kelompok, estetika mejabacanya saja bernilai seni, sangat mengagumkan.

Ruang kerja (ruang pengolahan data) terpisah dari ruang koleksi dan ruang baca. Membuat kerja (pengolahan data) tidak terganggu dengan layanan sirkulasi dan pengunjung.

Sistem Informasi Manajemen Perpustakaannya The Dickens BIS berbasis teknik informatika. Software ini memdukung fasilitas layanan pengolahan data, sirkulasi, laporan dan lain-lain.
Tema koleksi buku hari ini (tentang sejarah). Sampai-sampai pustakawannya sempat memberi tema koleksi buku hari ini. Sungguh ide yang kreatif dan unik. Inspiratif, sangat sempurna.
White Board Presentasi Digital sebagai sarana diskusi. Dibelakang ada seseorang sedang membaca, khusus bagi siswa yang ingin bekerja mengolah informasi tanpa ingin diganggu. Sayangnya kami kurang cermat untuk mendokumentasikan ruang tersebut secara detail.


Fasilitas layanan fotocopy dan scanner tersedia untuk siswa. Setelah siswa memperoleh bahan informasi, siswa dapat memfotocopy atau menscan sendiri hasil informasi tersebut. Fasilitas yang menakjubkan.

     Fasilitas ruang koleksi dengan karpet yang lembut dan penuh warna cerah, sangat nyaman dan artistik.

    Rak koleksi buku dengan disain dan mutu yang berkualitas.Berulang kali saya mengucap sempurna.


  Sofa untuktamu.Seorang siswa denganramah dan santun ikut berfoto bersama.

Kursi baca panjang  yang unik dan cantik. Semua tersenyum, senyum kepuasan bagi kami dan senyum keramah tamahan yang dipersembahkan oleh Ibu Hanna, terlihat tulus dan elegan.

Ruang sirkulasi (tempat transaksi peminjaman dan pengembalian koleksi) dengan pelayanan yang ramah. Pelayanan yang ramah sangat dibutuhkan oleh pengunjung perpustakaan sekolah. Di depan sirkulasi  ada alat sensor untuk mendeteksi bagi siswa apabila meminjam buku tanpa melalui layanan sirkulasi. Sayangnya alat itu tidak sempat terdokumentasikan oleh kami.

Ibu Hanna dengan keramah tamahanya mengantarkan kami sampai di depan raung Tata Usaha. Suatu  etika pelayanan mendidik.Terima kasih Ibu Hanna atas semuanya. Pengalaman yang tak terlupakan bagi kami.

               Dengan mengeksresikan hasil kunjungan melalui pemilihan (reduksi) dua puluh foto yang mewakili, rasanya masih belum cukup untuk mengungkapkan apa yang kami rasakan dalam kunjungan tersebut. Memang memilih adalah kebohongan, karena dengan memilih berarti kita menghilangkan atau lebih pasnya mengurangi bahasa ungkapan. Sungguh sangat tepat dan saya rasakan bahwa bahasa yang diungkapkan adalah kebohongan, karena ungkapan dengan sendirinya akan memilih apa yang tepat dan lebih banyak meniadakan ungkapan dan ekspresi yang dirasakan dalam pikiran dan perasaan. Tetapi, paling tidak, ini adalah bahasa keterwakilan dari apa yang kami rasakan dalam kunjungan studi banding di The Dickens BIS. Semoga ini menjadi inspirasi bagi kami dan bagi pembaca dalam mengupayakan mutu pelayanan perpustakaan sekolah yang berkualitas. Harapan yang paling utama dengan peningkatan mutu pelayanan perpustakaan sekolah adalah sehingga semakin baiknya mutu pendidikan di Indonesia. Semoga.
C.      PENUTUP

Dengan adanya kegiatan studi banding, pemahaman kami akan peningkatan mutu pelayanan perpustakaan semakin bertambah. Selain itu, tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pergi ke luar negeri dalam memperoleh informasi pelayanan perpustakaan yang baik, cukup dengan berkunjung ke sekolah internasional yang ada di dalam negeri.Oleh karena itu, kegiatan studi banding ke perpustakaan-perpustakaan yang berkualitas haruslah menjadi ageunda rutin. Selain menambah wawasan, menambah jaringan persahabatan sesama pustakawan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.i harusAkan tetapi, kegiatan studi banding akan menjadi tidak bernilai apabila sekolah tidak mengimplementasikannya dalam kebijakan yang kongkrit. 
Sebagai saran yang membangun untuk menciptakan perpustakaan dengan standar nasional Indonesia (SNI), saya merumuskannya dalam beberapa point penting, diantaranya sebagai berikut: (i) Perlunya pengelola perpustakaan   membuat program kerja yang kreatif dan inovatif. (ii)Dalam upaya menciptakan perpustakaan dengan standar nasional Indonesia, perlu dibuat program kerja yang berkesinambungan dan bertahap. (iii) Adanya kebijakan pimpinan (Kepala Sekolah) yang berkesinambungan dalam upaya peningkatan mutu perpustakaan sekolah. (iv) Mendorong terwujudnya realisasi dari UU No. 43 tahun 2007 tentang standar biaya perpustakaan sekolah, minimum adalah 5 % dari RAPBS. (v) Memperluas jaringan dengan bergabung bersama organisasi-organisasi pengelola perpustakaan untuk memperjuangkan terciptanya pelayanan perpustakaan sekolah yang berkualitas. Dan lain-lain.

Selasa, 08 Mei 2012

BENDERA

         Sabtu, 05 Mei 2012 jam 03.30, dua anak muda dengan sekujur badannya berlumuran darah, setelah diantarkan taksi di geletakkan saja di depan UGD Fatmawati. Mereka, kedua pemuda itu, usut punya usut katanya, habis ribut di salah satu tempat Karoke di bilangan D Best Fatmawati. Kedua pemuda itu adalah anggota FORKABI, dan usut punya usut lagi, mereka ribut karena urusan penurunan bendera. Ya bendera, sering saya cermati, karena penurunan bedera ormas, misalnya bendera FORKABI di turunkan oleh anggota FBR, atau sebaliknya, buntutnya adalah keributan yang memakan korban. Heran sekali, untuk mengakomodasi kepentingan masyarakan BETAWI, ormas sampai membuat organisasi yang banyak, ada FBR, FORKABI,  IKB, dan juga ada KEMBANG LATAR yang konon ceritanya sudah lebih senior. Padahal, apakah tidak bisa membuat satu organisasi untuk kepentingan bersama, atau mungkin memang sulit mengurus centeng, atau bahasa lain tukang pukul, jawara. Saya percaya bahwa ide dasarnya tidak seperti itu, tetapi, realitasnya berbicara lain, karena bendera, remaja atau pemuda betawi rela bertempur apabila ada intruksi dari komandannya. Miris... Untuk hal ini, saya lebih suka dikatakan BETAWI MURTAD.. He he.. Istilah ini memang tidak tepat. Mungkin, saya lebih suka organisasi yang bersifat kemanusiaan universal dari pada parsial.
         Bendera, ya.. bendera. Fans-fans musik, seperti Slank punya bendera, Iwan Fals punya Oi dengan benderanya sendiri, macam-macam. Ya.., macam-macam. Ada lagi, Ormas yang mengatas namakan agama seperti FPI, juga mempunyai bendera. Anehnya mengatasnamakan agama,  selalu membuat kerusuhan, menteror minoritas. Hmmmm, miris, saya masih ingat kerusuhan tahun 1997, di bulai Mei, saya masih aktif di Remaja Masjid Pondok Pinang. Ada warga Pondok Pinang asli yang menjarah toko material, mengumpulkan barangnya di Masjid Ni'matul Ittihad, seperti, semen, paralon, terliplek, dll. Memang kerusuhan itu sangat mencekam, banyak toko-toko di jarah dan supermarket di bakar, imbasnya adalah material di depan masjid Pondok Pinang. Pelaku-pelakunya sebagian adalah komunitas betawi, yang tergabung dalam PUKULAN BETAWI SUNAN KALI JAGA.. Saya melakukan tindakan dengan menutup gerbang masjid, dan akhirnya saya mengalami pemukulan dan pengeroyokan, walaupun saya sudah mengingatkan, anda terserah mencuri.. asal barang-barang curian itu jangan di kumpulkan di masjid. Ini tempat suci.. Imbasnya.. beberapa pukulan bersarang di wajah dan perut saya.. memar.. benjut.. Saya tidak bisa mempertahankan untuk menutup pintu gerbang masjid.. Dan akhirnya saya lari .. Saya menangis.. menangis bukan karena sakit pukulan. Menangis karena "nilai", begitu berubah "nilai" dalam kondisi chaos. Waktu itu sekitar jam 1 malam, saya berwudhu, dan menangis, berdoa.. "kenapa Engkau tidak turun tangan"?? Dan mirisnya lagi, jam 6 pagi, terpasang bendera SAJADAH di depan material tersebut dan tulisan dengan cat, MILIK PRIBUMI.
       Belum lagi, bendera OPM; RMS, bendera GAM, dan bendera separatis lainnya.  Dan pernah ketua partai yang berkuasa sampai memberi statement, bendera partai adalah harga mati. Harus diperjuangkan sampai mati. Bendera... Untuk nasionalisme menang harus diperjuangkan sampai mati.
        Bendera Indonesia. berwarna merah putih, sederhana. Maknanya merah adalah Berani, dan putih adalah Suci. Sangat sederhana dalam makna dan sulit dalam implementasi. Sesederhana Ibu Fatmawati merajut kain Merah dan Putih yang dibuat dengan tangannya. Aku lebih suka dengan bendera itu, dan banyak sekali orang-orang yang berjiwa Nasionalisme merelakan jiwa dan raga. Sekarang nasionalisme sudah pudar, yang ada dari serpihan itu ada pada Olah Raga, seperti yang diucapkan oleh ADYAKSA DAUD mantan mempora. 
        Aku ingin, memiliki bendera. Bendera sejati ku adalah MERAH PUTIH, karena aku ingin menjadi NASIONALIS. Aku sedang berusaha mencari nilai-nilai HUMANIS yang sekarang nilai itu sudah meredup kalau tidak boleh dikatakan hilang. Aku ingin mencari bendera yang lebih UNIVERSAL.. bendera INTERNASIONALISME.. bendera KEMANUSIAAN SEJATI..  Akan ku cari BENDERA itu.. akan kuserahkan jiwa dan raga ku...